Archives

  • REALITAS MASYARAKAT DALAM PERUBAHAN
    Vol. 6 No. 1 (2023)

    Masyarakat adalah kondisi dinamis dimana perubahan adalah kenyataan yang selalu akan ada. Oleh sebab itu realitas masyarakai itu adalah relitas perubahan itu sendiri, tidak hanya dalam konsep perubahan material semata-mata tetapi juga imanterial. Hari ini masyarakat dibelahan mana saja berjuang kalau tidak ingin disebut bertempur dengan perubahan itu. Perubahan itu terkait dengan perubahan kondisi, beserta dengan konsep, ideologi, perspektif bahkan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Anak muda identik “menggilai”  perubahan itu, mereka tidak hanya dengan sengaja terhisap dalam perubahan itu, tetapi bergerak menjadi agen perubahan itu. Beberapa diantaranya berada dalam realitas berjuang untuk mempertahankan diri, beberapa yang giat dalam menyetarakan diri dengan perubahan itu, sementara yang lainnya secara individual.

    Artikel pertama ditulis oleh Fresky Edo Atriska, dkk dengan judul “StrategiPemberdayaan Masyarakat dalam Mengembangkan Pariwisata dan Kebudayaan Di DesaSenduro” memaparkan tentang perubahan eksistensi kebudayaan berhadapan denganpengembangan pariwisata di Desa Senduro, Kabupaten Lumajang. Bahwa pariwasata pada satusisi menjadi tantangan bagi tradisi dan identitas budaya masyarakat, tetapi pada sisi yang lainterdapat keinginan untuk mempertahankan identitas kebudayaan menjadi objek pariwisata. Hasil dari penelitian memperlihatkan bahawa masyarakat desa mengembangkan identitas mereka supaya dikenal dan dapat dinikmati banyak orang. Rekomendasi penelitian ini bahwa kerjasama masyarakat desa dengan pemerintah supaya “mengeksiskan” kebudayaan menjadi pariwisata. Pada bagian ini penelitian ini perlu menelaah secara kritis kemungkinan alienasi masyarakat desa terhadap kebudayaan ketika ia berubah menjadi objek wisata.

    Artikel kedua yang ditulis oleh Fivi Ananda Amellya Putri, dkk dengan judul “Dibalik Eksotisme Gili Ketapang (Studi Dokumentasi di Desa Gili Ketapang, Kecamatan Sumber Asih, Kabupaten Probolinggo)” Kajian ini memberikan gambaran tentang perubahan aspek lingkungan dalam pengembangan pariwisata di Daerag Gili Ketapang, Jawa Timur. Bahwa terdapat situasi yang problematika dalam pengembangan sektor pariwisata khususnya aspek lingkungan. Sampah dan kematian kambing akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi sampah menjadi persoalan yang menarik untuk diperdalam. Selain aktivitas ekonomi masyarakat dan pengerukan pasir pantai yang menyebabkan rusaknya terumbu karang dan menyusutnya ukuran pantai. Penelitian ini perlu secara kritis memberi telaah kritis pada agensi masyarakat yang seolah acuh tak acuh pada tujuan pembangunan pariwisata sebagai tindakan rasionalisasi.

    Artikel ketiga ditulis oleh Yunita Pratiwi, dkk dengan judul “Konstruksi Sosial Masyarakat Dan Mahasiswa tentang Maraknya Kriminalitas Begal Payudara Ketintang Surabaya Tulisan ini memulai keprihatinan akan perubahan perilaku anak muda di jalan raya perkotaan terkait pelecehan seksual. Keprihatinan tentang jumlah kasus pelecehan seksual yang meningkat baik pada ranah lokal dan ranah privat, secara khusus begal payudara Ketintang Surabaya. Perilaku pelaku ada kaitannya dengan pemahaman gender yang timpang dalam budaya patriarki, dimana kekuasaan utama dipegang oleh laki-laki, dan perempuan dianggap lebih lemah. Konstruksi gender yang seperti ini mendorong maraknya kriminalitas dan kekerasan seksual begal payudara yang merugikan korban secara psikis (trauma) untuk waktu yang sangat panjang. Penelitian ini perlu secara kritis untuk memberikan kontruksi secara komprehensif partisipasi masyarakat bagi perlindungan korban dan membentuk agensi untuk menolak bentuk kekerasan terhadap perempuan di lingkungannya.

    Artikel keempat ditulis oleh Ardi Nasrullah Farikhi tentang “Analisis Semiotika John Fiske Tentang Cyberbullying Pada Remaja Dalam Film Unfriended”. Tulisan ini menelaah bagaimana perubahan nilai, konsep dan ideologis pada perilaku remaja masa kini. Perubahan ini disoroti melalui film Unfriended yang memperlihatkan cyberbully menjadi “hiburan” di kalangan remaja. Film unfriended yang diproduksi oleh Blumhouse Production yang bekerja sama dengan Bazelevs. Secara semiotik film ini berisi kritik sosial terhadap cyberbully atau perundungan siber di kalangan remaja sebagai masalah sosial yang cukup serius. Kekerasan dan kekejaman yang tidak disadari, menjadi tontonan dan hiburan yang kejam yang menimbulkan banyak korban, tetapi belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat secara umum. Penelitian ini perlu secara kritis menganalisa perubahan perilaku yang masiv di kalangan remaja, terkait dengan pentingnya aktor remaja menunjukkan eksistensi dirinya di dunia maya.

    Artikel terkahir ditulis oleh Juli Natalia Silalahi, dkk dengan judul “Dinamika Sosial Masyarakat Kawasan Food Estate (Studi Masyarakat Desa Anjir Sarapat Baru, Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas)”. Tulisan ini menelaah perubahan sosial dan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan pertanian skala nasional food estate pada masyarakat petani di Anjir Sarapat Kuala Kapuas. Tulisan ini berisi kritik terhadap program food estate (2020) sebagai pencerminan tindakan rasionalitas instrumental menurut Habermas, yang berorientasi pada pertumbuhan produksi. Pada Desa Anjir Serapat Baru, dinyatakan dalam bentuk bantuan bibit, pupuk, dan kapur, yang justru berdampak pada panen. Secara emansipatoris tulisan ini menilai bahwa kondisi ini sebagai program ini lemah dalam pemahaman karakteristik pertanian setempat. Artikel ini perlu menelaah secara kritis pertumbungan kemandirian pangan dapat dicapai oleh masyarakat desa sebelum dan sesudah program food estate.

    Selamat membaca seluruh artikel dalam volume ini, karena semua artikel menarik dan menyoroti bagaimana masyarakat berubah.

    Palangka Raya, 30 Maret 2023
    Ketua Dewan Redaksi
    Evi Nurleni

  • DINAMIKA MASYARAKAT KONTEMPORER KALIMANTAN TENGAH
    Vol. 5 No. 2 (2022)

    Dinamika sosial menandakan adanya suatu perubahan sosial yang terbentuk dari interaksi
    individu-individu dalam masyarakat. Interaksi yang terjadi baik yang bersifat sosial, ekonomi
    dan budaya selalu memiliki aspek psikologis, yang berhubungan dengan nilai-nilai yang dianut
    individu, sehingga membentuk hubungan yang dinamis. Bentuk dinamika sosial berupa
    perubahan-perubahan nilai sosial, norma sosial, pola perilaku individu dan organisasi, struktur
    sosial, kelas sosial bahkan sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat. Dinamika sosial dapat
    ditelaah melalui proses sosial yang terjadi dalam masyarakat dan kebudayaan . Edisi kali ini
    mencoba untuk menangkap beberapa dinamika sosial dalam masyarakat Kalimantan Tengah baik
    yang terkait dengan relasi personal (gender), kebijakan kesehatan maupun perubahan nilai-nilai
    toleransi dalam masyarakat.
    Artikel pertama ditulis oleh Evi Nurleni, dkk yang memaparkan tentang “Respon
    Masyarakat Terhadap Penangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Palangka Raya”.
    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan menggunakan teknik gender
    framework analysis (GFA) untuk melihat respon. Hasil penelitian ini memperliharkan bawa
    KDRT baru dianggap serius jika korban mengalami kekerasan fisik dan kejadiannya sudah
    terjadi berulang kali. Kekerasan seksual dan verbal jarang dianggap sebagai bentuk kekerasan
    yang diselesaikan di ranah hukum, bahkan bukan dianggap sebagai kekerasan. Berdasarkan
    pemahaman di atas, perempuan berada dalam posisi subordinat, dimana terdapat relasi kekuasaan
    yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Suami adalah pemegang kontrol terhadap
    keuangan atau penghasilan dan keputusan dalam rumah tangga. Sehingga dalam kasus KDRT
    itu, terdapat kemungkinan bahwa kebutuhan dasar praktis perempuan tidak terpenuhi atau terjadi
    penelantaran. Perempuan menjadi pihak yang berkewajiban untuk menerima apa adanya
    perlakuan atau kontrol laki-laki, karena memang secara budaya seperti itu dan isteri atau
    perempuan memiliki kewajiban untuk memelihara keutuhan rumah tangganya. Perempuan
    menjadi pihak yang minimal dalam penguasaan kebutuhan dasar strategisnya sendiri. Karena
    tubuh perempuan bukan sesuatu yang bersifat netral, tetapi sudah mengalami “pendefenisian”
    oleh masyarakat, baik secara sosial, budaya maupun agama. Bahwa perempuan secara kodrati
    tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
    Artikel kedua ditulis oleh Yuliana, dkk yang memaparkan tentang “Penerapan Nilai-Nilai
    Toleransi Beragama (Studi Kasus Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Shalahuddin).” Penelitian
    ini menggunakan penelitian kuantitatif desktiptif; dengan menganalisa menggunakan kerangka
    teori konstruksi sosial, Peter L Berger dan Thomas Luckman tentang paradigma konstruktivis,
    dimana realitas sosial merupakan sebuah kontruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Hasil
    penelitian menunjukan bahwa dalam proses implementasi nilai-nilai toleransi beragama, Lembaga
    Dakwah Kampus (LDK) tidak berjalan sepenuhnya. Hal ini tergantung dari pemahaman masing-masing
    anggota LDK, dan setiap anggota memiliki latar belakang yang berbeda dan memiliki lingkungan yang
    berbeda sehingga tidak semua nilai yang diperoleh dari Lembaga Dakwah Kampus dapat diterapkan
    sepenuhnya. Proses nilai toleransi tersebut melalui tiga tahap, yaitu eksternalisasi, objektifikasi dan
    internalisasi yang berlangsung di dalamnya. Dengan penjelasan bahwa tidak semua anggota LDK
    menerapkan secara sepenuhnya nilai-nilai yang mereka dapatkan tadi karena sebelum bergabung
    dengan Lembaga Dakwah Kampus, mereka telah mempunyai pemaknaan dan pola penerapan
    sendiri terkait nilai-nilai toleransi yang ada sebelumnya. Sedangkan didalam lingkungan
    masyarakat secara umum, terjadi konstruksi sosial sepenuhnya karena aktor tadi akan
    menyesuaikan dengan nilai- nilai toleransi yang ada, dan tidak menerapkan nilai-nilai toleransi
    yang aktor tadi dapatkan ketika berada di Lembaga Dakwah Kampus.

    Artikel ketiga ditulis oleh Charles Hutapea memaparkan tentang “Kinerja Pemerintah
    Daerah Terhadap Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Pos Pelayanan
    Teknologi Tepat Guna Di Kabupaten Pulang Pisau (Studi Di Dinas Pemberdayaan Masyarakat
    Desa Kab Pulang Pisau)”. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
    deskriptif; dengan menggunakan teori pengukuran kinerja dalam teori Whittaker sebagai
    kerangka analisis. Penelitian ini menggunakan indikator yakni produktivitas, efisiensi, dan
    efektivitas pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Pulang Pisau. Kinerja yang
    dianalisa ialah pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui program teknologi tepat guna dan
    faktor penghambat dan atau pendukung kinerja tersebut. Hasil dari penelitian ini bahwa kinerja
    Pemerintah Daerah Kabupaten Pulang Pisau terhadap pemberdayaan masyarakat melalui
    program Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (TTG) ini terlaksana cukup baik. Hal ini dilihat
    dari menurunnya tingkat penggangguran, masyarakat yang hanya lulus SD/SMP/SMA dan
    masyarakat miskin, dengan berkurangnya masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan
    (pengangguran) dengan direkrutnya dalam melaksankan program posyantek dan masyarakat
    yang sekarang bisa berdiri sendiri membuat usaha kecil- kecilan.
    Artikel keempat ditulis oleh Yorgen Kaharap, dkk yang memaparkan tentang “Konflik
    Sosial Internal Masyarakat Pada Masa Diberlakukannya Aturan Pembatasan Sosial Di Kota
    Palangka Raya”. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif; dengan
    memperluas rumusan teori Handoko tentang indikator konflik sosial internal untuk menganalisa
    dampak penerapan pembatasan sosial di Kota Palangka Raya. Hasil penelitian ini
    memperlihatkan bahwa terjadi konflik sosial internal rumah tangga akibat kebijakan pembatasan
    sosial. Hal ini terlihat dari Beban yang ditanggung bisa berupa pekerjaan rumah tangga,karena
    suami tidak dapat atau tidak bisa membantu, tidak adanya dukungan suami dan sikap suami yang
    mengambil keputusan tidak secara bersama. Selanjutnya, kesediaan istri untuk menemani suami
    dan sewaktu dibutuhkan suami atau sebaliknya, keterlibatan orang tua untuk menemani anak dan
    sewaktu dibutuhkan anak, dan beban persoalan-persoalan pekerjaan yang mengganggu hubungan
    di dalam keluarga yang tersita ini akan membentuk konflik sosial internal keluarga. Mekanismemekanisme ini telah menyebabkan diferensiasi fungsional yang konsekuensi paradoksnya
    mempengaruhi ruang privat. Konflik sosial internal rumah tanggga dalam analisis sosiologis
    pandemi tidak dapat direduksi menjadi bentuk konflik sederhana. Konflik sosial internal itu
    kompleks dan paradoks karena menyangkut baik struktur masyarakat modern.
    Artikel kelima ditulis oleh Ferry Setiawan dkk yang memaparkan tentang “Penerapan
    Nilai-Nilai Toleransi Beragama Dalam Persepektif Sosiologi Pembangunan Pada Lembaga
    Dakwah Kampus (Studi Kasus di Lembaga Dakwah Jamaah Shalahuddin Universitas Palangka
    Raya)”. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan menggunakan konsep
    penerapan nilai-nilai toleransi beragama sebagai fenomena sosial dalam perspektif sosiologi
    pembangunan. Hasil penelitian mengemukakan bahwa proses penerapan nilai-nilai toleransi
    beragama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) tidak berjalan secara sepenuhnya. Hal ini
    bergantung kepada pemahaman masing-masing anggota LDK, dan setiap anggota yang memiliki
    latar belakang yang berbeda serta memiliki lingkungan yang beda-beda sehingga tidak semua
    nilai-nilai yang didapatkan dari LDK bisa sepenuhnya diterapkan. Dalam perspektif sosiologi
    pembangunan, penerapan nilai-nilai toleransi dalam indikator produktifitas, efisiensi dan
    partisipasi masyarakat sudah terlaksana.
    Selamat membaca dan memperoleh manfaat untuk pengembangan telaah lebih lanjut.

  • DINAMIKA MASYARAKAT KONTEMPORER KALIMANTAN TENGAH
    Vol. 5 No. 1 (2022)

    Dinamika masyarakat kontemporer dalam hal ini dipahami sebagai sebuah rangkaian peristiwa terkini baik mencakup isu lama dan baru, yang tidak sama artinya dengan modern. Rangkaian peristiwa ini mencuri minat dan  perhatian banyak orang dan menimbulkan problematisasi dalam perlabagi bentuk debat. Konsekuensi dari sebuah debat yang demikian, isu lama akan menjadi menarik dengan  narasi baru dan konteks baru dalam masyarakat kekinian.  Ketika isu itu diurai ulang, maka akan terlihat perdebatan atau wacana yang terbentuk masih menarik untuk diperbincangkan bahkan dapat menjadi pengetahuan yang dapat diperdalam maknanya. Karena dalam fenomena kontemporer yang lama dan baru itu berkonstelasi dalam rangkaian peristiwa, yang bisa saja berkesinambungan, dipertentangkan ataupun dipersamakan. Konsekuensinya ketika yang baru ditemukan maka yang lama ditinggalkan; atau bisa juga ketika yang baru belum ditemukan yang lama akan menjadi pengetahuan terkini. Misalnya ide tentang pemberdayaan masyarakat bisa jadi merupakan acient issue, tetapi secara substansi pemahamannya bisa menjadi sangat baru dengan realitas terkini.

    Lima (5) artikel dalam edisi kali ini mencoba untuk memaparkan realitas terkini dinamika masyarakat kontemporer di Kalimantan Tengah dan Jogjakarta.  Artikel pertama ditulis oleh Anisa Pebrianti berbicara tentang “Presentasi Diri Suami Istri Dalam Menampilkan Foto Profil Di Instagram”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena mengenai presentasi diri pasangan suami dan istri yang baru menikah terkait perubahan status dari lajang menjadi menikah. Penelitian ini menggunakan dasar analisis teori self presentation dari Erving Goffman yang mengemukakan adanya konsep dramatugi dalam persentasi diri individu.  Bagaimana pasangan yang baru menikah menampilkan diri pada foto profil instagram? Penelitian ini memaparkan bahwa terdapat perbedaan persentasi antara isteri dan suami. Perempuan yang baru menikah ingin menunjukkan status yang telah berubah, sedangkan laki-laki yang baru menikah tidak begitu peduli untu menampilkan perubahan status mereka. Walaupun baik informan istri dan suami memiliki dua pilihan untuk menampilkan foto profil instagram bersama pasangan dan secara individual. Sisa dari penelitian ini ialah dengan cara mana dramaturgi itu dilakukan oleh pasangan itu melalui status dan profil di instagram mereka?

    Artikel kedua ditulis oleh Purnama Julia Utami, dkk berbicara tentang “ Pemberdayaan Masyarakat Desa Pada RT.08 RW.14 Kelurahan Bukit Tunggal Kec. Jekan Raya Kota Palangka Raya”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data ovservasi, wawancara, literatur, dan dialog terbuka.  Masyarakat desa yang dimaksud dalam penelitian ini ialah pemukiman Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di  KM 14  atau yang disebut TPA KM 14 Palangka Raya. Penelitian ini mendasarkan konsep Urgency, Seriousness, and Growth (USG) sebagai alat untuk mengetahui isu-isu paling prioritas dalam kerangka kerja pemberdayaan masyarakat atau komunitas yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prioritas pemberdayaan masyarakat yaitu tindakan memberikan pengetahuan yang lebih luas atau edukasi atau sosialisasi tentang aktivitas kerja produktif (memulung) mereka.  Edukasi dan sosialisasi tentang prinsip kesemalatan kerja (memulung), prinsip perlindungan diri (Alat-alat Perlindungan Diri-APD) serta penyedian prasarana dan penerapan pola hidup bersih-sehat. Sisa penelitian ini, bagaimana kondisi prioritas pemberdayaan ini dapat terpenuhi di lokasi TPA KM 14 dalam waktu dekat oleh komunitas dan aparatus?

    Artikel ketiga ditulis oleh Kartika Ananda, dkk membahas tentang “Pemenuhan Hak Anak Dalam Keluarga Nelayan Keramba Di Daerah Aliran Sungai Kelurahan Pahandut Seberang Kota Palangka Raya”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif-analitik dan konsep yuridis sosiologis (sociolegal approach).  Pemenuhan hak-hak anak yang dimaksud dalam penelitian ini ialah mengidentifikasi dan menganalisis kondisi pemenuhan 6 hak anak; berupa hak hidup, hak pendidikan, hak tumbuh kembang, hak partisipasi, hak rekreasi, dan hak untuk dilindungi, pada 30 orang tua dan anak dari keluarga nelayan keramba. Hasil penelitian menunjukkan hak pendidikan, hak hidup, dan hak partisipasi anak-anak dari keluarga nelayan keramba Kelurahan Pahandut Seberang terpenuhi dengan baik. Sedangkan hak tumbuh kembang, hak rekreasi, dan hak dilindungi belum terpenuhi dengan baik, sehingga memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Daerah bersama-sama dengan masyarakat Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah dalam upaya pemenuhan hak anak. Sisa penelitian ini, bagaimana hak tumbuh kembang, rekreasi dan perlindungan ini dapat dipenuhi bersama oleh keluarga dan aparatus?

    Artikel keempat ditulis oleh Muhamad Arief Rafsanjani yang membahas tentang “Sebiji Kopi Ditangan Petani, Secangkir Kopi Ditangan Barista: Kajian Mengenai Barista dan Perannya”. Penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data observasi partisipan dan indepth interview pada kelompok barista (peracik kopi). Kajian barista dalam penelitian ini hendak menyajikan transformasi warung kopi tradisional menhadi coffee bar yang lebih modern dalam sistem bisnis dan industri. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa coffee bar dalam penyuguhan racikan kopi berisi bingkai produksi pengetahuan baru tentang kopi sebagai komuditas budaya kopi. Pengetahuan budaya kopi yang dimaksud terkait dengan pengenalan jenis biji kopi, sistem penggorengan kopi dan peracikan kopi menjadi sebuah minuman. Pengetahuan ini diproduksi dengan barista sebagai “frontman” bagi customer. Pengetahuan tersebut tidak diproduksi dalam sekolah formal, basis komunitas menjadi arus utama. Basis komunitas di Yogayakarta sebagai satu kelompok sosial membuat pengetahuan tersebut dan mengembangkannya sehingga mampu bertahan dan terus menarik pelanggan-pelanggan baru. Mereka membentuk komunitas barista koffie lover sebagai respon terhadap perkembangan industri warung kopi. Komunitas tersebut menciptakan modal-modal kultural yang memberikan ruang akses berbeda-beda terhadap setiap barista atau peracik kopi.

    Artikel kelima ditulis oleh Yuliana yang menyajikan tentang “Perempuan Peladang Menjaga Ketahanan Pangan Keluarga Di Desa Samba Bakumpai”.  Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi pada tradisi berladang secara tradisional yang masih pro dan kontra di Kalimantan Tengah. Fenomeno pro dan kontra dimaksud ialah anggapan bahwa tradisi berladang sebagai salah satu penyebab kabut asap dari Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pada tahun 2015 (dalam Peraturan Gubernur (Perda) Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Lahan dan Pembukaan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dampak Perda berupa melarang pembukaan lahan dengan cara dibakar berdampak cukup signifikan dalam pemenuhan pangan keluarga peladang. Ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 yang membatasi pekerjaan dan berdampak pada penghasilan. Menghadapi larangan membakar lahan tersebut, peladang menerapkan strategi baru dalam membuka ladang yaitu membakar secara bergantian (terjadwal) untuk menghindari asap pembakaran yang berlebihan. Terkait ketahanan pangan keluarga selama masa pandemi Covid-19 dapat terjamin dengan tersedianya lumbung pangan yang disebut kalumpu parei.

    Selamat membaca dan menemukan inspirasi baru untuk karya-karya selanjurnya.

     

    Palangka Raya, 2 Febuari 2022

    Ketua Dewan Redaksi

    Evi Nurleni

  • DINAMIKA RESPON MASYARAKAT
    Vol. 3 No. 2 (2020)

  • ASPEK SOSIAL BUDAYA KEHIDUPAN KELUARGA URBAN
    Vol. 2 No. 2 (2019)

    Keluarga adalah unit social terkecil dalam masyarakat yang didalamnya terjadi interaksi danl relasi sosial individu dengan individu. Terkait dengan interaksi sosial dalam keluarga, tidak selalu terjadi relasi yang asosiatif, tetapi juga terjadi relasi yang diasosiatif. Bentuk yang paling sering muncul dalam relasi pasangan suami isteri adalah disharmonis, yang akhirnya menyebabkan perpisahan atau perceraian. Perceraian atau perpisahan bukan sesuatu yang diingingkan atau direncanakan bagi pasangan, tetapi dalam dinamika resiliensi para penyintas KDRT di Komunitas Bunda Sehati Palangka Raya, pilihan perceraian harus dilakukan untuk menyelamatkan diri dan melanjutkan kehidupan tanpa kekerasan. Walaupun kehidupan paska perceraian bukan sesuatu yang mudah, baik secara sosial dan ekonomi, namun setidaknya para penyintas sudah keluar dari satu masalah yakni kekerasan fisik, seksual dan psikis.

    Keluarga sebagai unit sosial terkecil memiliki sistem pembagian peran, yang secara kultural mengalami konstruksi sosial. Namun dalam kehidupan keluarga urban, konstruksi peran perempuan mengalami perubahan, dengan terlibatnya perempuan dalam mencari nafkah dan bekerja juga bagi komunitas atau yang disebut dengan multi peran. Problematika perempuan yang memiliki multi peran menyebabkan peran produktif lebih diutamakan dibandingkan peran reproduktif dan komunitas. Hal ini terlihat dalam kehidupan perempuan Bidan yang bekerja di bidang reproduktif masih lebih mengutamakan pekerjaan produktif di puskesmas dibandingkan pekerjaan memasak, menyuci, menurus anak dan keluarga setiap hari. Pilihan ini terkait dengan perbenturan waktu antar peran produktif-reproduktif-komunitas, sehingga pilihan rasionalnya adalah memilih yang terpenting. Sehingga pekerjaan reproduktif dan komunitas akan di sampingkan untuk mengutamakan pekerjaan produktif. Dinamika konflik peran pada keluarga bidan Puskesmas Ketapang 2 bisanya di atasi dengan mengambil peran anak perempuan yang
    lebih besar dan keluarga lainnya (bukan ayah).

    Selanjutnya, ikatan keluarga jauh yang ditandai dengan pembentukkan komunitas yang berhubungan dengan ikatan darah atau sistem kekerabatan, biasanya dikenal dengan suku atau etnis. Ikatan suku atau etnis ini menarik dilihat dalam komunitas urban Suku Banjar di Kota Palangka Raya. Komunitas yang terkumpul berdasarkan etnis ini selanjutnya membentuk suatu karakteristik sosial seperti yang terlihat di kompleks permukiman Mendawai Palangka Raya. Masyarakat etnis Banjar relatif memiliki rasa primordialisme dan eksklusif dengan masyarakat etnis lokal di permukiman Mendawai. Masyarakat etnis Banjar memiliki rasa simpati dan dekat dengan anggota-anggota in-group dan bersikap antipati atau antagonisme dengan Out-group. Sadar maupun tidak sadar masyarakat etnis Banjar dan etnis lokal berinteraksi sosial secara ekonomi-sosial, dengan tetap menjaga budaya masing-masing.

    Salah satu bentuk dari pemeliharaan karakteristik keluarga luas atau sub-etnis adalah dengan memelihara dan melaksanakan ritual adat. Salah satu ritual adat dalam masyarakat desa Bangkal yang melaksanakan ritual Tiwah Sandung Runi dan Tiwah Sandung Tulang. Ritual Tiwah ini sendiri untuk menghormati keluarga yang sudah meninggal dan menghantarkan rohnya secara terhormat. Biasanya yang melaksanakan ritual ini adalah umat Kaharingan. Ritual ini bertujuan untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, dengan Tuhan (ilah), Roh Leluhur, dan dengan lingkungan alam sekitar. Masyarakat desa Bangkal khususnya mempercayai bahwa setelah melakukan ritual Tiwah ini mereka tidak akan mendapatkan segala sial, sakit-penyakit, mimpi buruk, tidak terganggu lagi ataupun tidak merasa ada beban lagi. Roh keluarga yang meninggal sudah dihantarkan dengan baik.

    Terakhir, dalam dinamika komunitas atau sub-etnis, karakteristik komunitas juga ditandai dengan permainan tradisional. Permainan sabung ayam adalah salah satunya. Permainan sabung ayam merupakan perkelahian antara dua ayam jago yang diadu dengan menggunakan pisau kecil atau biasa disebut taji sebagai senjata, yang dipasangkan di kaki ayam tersebut untuk membunuh lawannya dengan cepat jika taji tersebut mengenai lawannya. Permainan sabung ayam di Desa Tuyun menjadi sebuah solusi alternatif perekonomian bagi masyarakat penambang emas yang tidak dapat bekerja menambang emas di musim kemarau, maka mereka mengisi waktunya dengan melakukan permainan sabung ayam. Hal tersebut dipengaruhi oleh bebarapa faktor antara lain faktor ekonomi (peruntungan dari perjudian), faktor hiburan (menjadi tontonan warga) dan faktor belajar (melatih ayam yang akan bermain).

    Palangka Raya, 18 Desember 2019
    Ketua Dewan Redaksi

  • DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT PERKOTAAN
    Vol. 2 No. 1 (2019)

    Kelompok anak dan remaja adalah kelompok yang sedang mencari identitas diri mereka sendiri, sehingga menu yang disajikan kepada mereka berpotensi untuk disantapnya, tanpa pikir panjang. Keadaan ini mereka refleksikan dengan tindakan kekerasan, minuman keras dan balapan motor di ruang publik sebagai representasi reaksi atau respon mereka untuk menjawab dinamika lingkungan sosial yang dianggap kurang bersahabat dengan mereka.

    Konteks pemikiran di atas, menjadikan anak dan remaja sebagai kelompok yang selalu disalahkan oleh lingkungan sosialnya. Tidak disadari bahwa mereka (lingkungan sosial) memiliki kontribusi yang besar sebagai pembentukan karakter anak dan remaja sebagai generasi yang peduli dan responsive terhadap dinamika kehidupan masyarakat masa kini. Bahkan dalam dinamika masyarakat global yang sarat dengan persaingan, maka tantangan yang dihadapi adalah membangun manusia yang kreatif, inovatif dan transformative sebagai upaya merespon dinamika persaingan global yang semakin kuat.

    Pada sisi lain, kita meletakkan harapan yang besar kepada orang tua dan tokoh masyarakat sebagai pembina, pengasuh dan teladan, bahkan sebagai teman akrab bagi anak dan remaja melalui penanaman nilai-nilai keagamaan. Sebagai pembentukan karakter anak, orang tua harus menyadari bahwa anak dan remaja selalu dihadapkan dengan lingkungan yang berbeda-beda, maka nilai-nilai keagamaan yang diajarkan tidak hanya pada nilai emosional keagamaan, tetapi juga unsur-unsur rasionalitasnya. Dengan semikian mereka memiliki daya respon yang luat untuk merefleksikan dunia sosial yang semakin kompleks dewasa ini.

    Di samping itu, terdapat pula pengaturan sosial  berdasarkan tatanan adat, khususnya bagi penyimpangan norma dalam hal perkawinan adat, dilakukan upacara perkawinan adat ticak kacang, sebagai perwujudan tatanan adat yang memiliki kecenderungan tanggung jawab sosial  dari komunitas adat untuk mengembalikan mereka ke jalan adat yang bersifat harmonis.

    Harapan kita, Pendidikan dan penanaman nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan tersebut sebagai proses yang berlangsung secara berkelanjutan, mengikuti dinamika kehidupan masyarakat, sehingga mereka memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan yang mampu merefleksikan nilai-nilai dari luar ke dalam dinamika pemikiran dan cara-cara yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan remaja.

    Palangka Raya, 17 Pebuari 2019

    Ketua Dewan Redaksi

  • Journal SOSIOLOGI Edisi 02, Desember 2018
    Vol. 1 No. 2 (2018)

    Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan potensi kelautan, termasuk hamparan hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayat, merupakan sumber kekayaam alam (natural resources). Dengan potensi kekayaan sumberdaya alam tersebut, seharusnya mampu memberikan kemakmuran kepada masyarakat Indonesia, bukannya dengan slogan-slogan yang pada era kekinian dapat digambarkan sebagai ketidakmampuan mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam secara berkesinambungan dan berkeadilan. Sangat ironis kalau kita mau belajar “hitung-hitungan” dan “buka-bukaan” serta tanggung jawab kita terhadap lingkungan,ternyata kita hanya berperan sebagai penjual, bukan sebagai pemanfaat hasil, karena keuntungan hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan masyarakat pada lapisan bawah. Kita berharap kepemimpinan ke depan mampu menjangkau kelompok-kelompok etnis yang jauh dari pusat pasar dan kekuasaan, sehingga dapat mengurangi ketimpangan sosial yang berpotensi menimbulkan konflik dan ancaman terhadap integrasi dan keutuhan bangsa Indonesia.

    Kelompok-kelompok etnis di Kalimantan Tengah terdiri atas etnik Dayak 43,26 %, etnis Banjar 15,06%, jawa 29,77 % dan etnis melayu (4,90%), Madura (1,58%), Sunda (1,25%), Batak (1,20%) lainnya (2,97 %); sedangkan dari kelompok agama, jumlah penduduk beragama Islam sebanyak 1.944.177 jiwa, Katholik sebanyak 86.238 jiwa, Protestan sebanyak 420.624 jiwa, Budha sebesar 9.388 jiwa, Hindu sebanyak 218.890 jiwa, Konghucu sebanyak 572 jiwa dan lainnya sebanyak 791 jiwa. (BPS kalteng, 2015) Keberadaan kelompok etnis dan komposisi keagamaan di atas masih berpotensi sebagai ancaman konflik sosial, ketika ketimpangan sosial dan kesejahteraan masyarakat belum menemukan dinamika perkembangan (curva) ekonomi yasng menunjukan kesejahteraan yang berkeadilasn. Sebaliknya jika dinamika curva tersebut telah memilki kecenderungan pada pergerakan kesejahteraan yang berkeadilan, maka ancaman konflik akan bertransformasi ke arah penguatan integrasi social. Penguatan identitas Dayak sebagai respon terhadap terhadap dinamika pembangunan merupakan refleksi dari pengalaman sejarah yang memposisikan mereka sebagai kelompok yang terpinggirkan telah mengalami transformasi dalam wujud perlawanan dengan menggunakan atribut-atribut dan teks-teks budaya Dayak yang dipahami sebagai manyalamat petak danum (counter hegemony) terhadap kebijakan Negara khususnya pemerintah daerah.

    Pada Institusi keluarga yang dibangun berdasarkan hubungan cinta kasih , tidak mengenal adanya batas wilayah kekuasaan dalam konteks gender, karena realita interaksi dalam keluarga selalu dihadapkan pada masalah wajar dan ketidakwajaran; adil dan ketidakadilan; apalagi sampai pada pembicaraan siapa yang lebih besar pengorbanannya dan tanggung jawabnya. Jawabanya hanya ada pada sifat fleksibitas atau kelenturan dan pencairan situasi sehingga ditemukan model transformasi yang dapat memuaskan keduabelah pihak. Sebaliknya pada perempuan millneal, dituntut untuk mengandalkan pada unsur-unsur kreatif, inovatif dan transformatif dalam menghadap tantangan dan dinamika pembangunan, maka pilihan berkarir memiliki relevansi yang sangat kuat dan tepat. Sementara pernikahan merupakan sesuatu yang sudah tersedia, hanya ruang dan waktunya yang terbaik, yang belum kita ketahui; artinya karir dan pernikahan dapat memiliki hubungan yang signifikan.

    Palangka Raya, 12 Desember 2018

    Dewan Redaksi

  • Journal SOSIOLOGI Volume 01, Edisi 01, Maret 2018
    Vol. 1 No. 1 (2018)

    Sebuah kebudayaan dapat dipahami dari dinamika aktor-aktor sebagai pembentuk kebudayaan, ketika mereka merefleksikan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam menghadapi dinamika pembangunan yang sarat dengan kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Dinamika kebudayaan tersebut merupakan dinamika aktor dalam ruang dan waktu untuk merefleksikan perbedaan (disticntion) yang dimiliki para aktor dari pengetahuan dan pengalaman yang membentuk kapasitas mereka untuk mempengaruhi dan menciptakan isu-isu aktual yang sedang dihadapi masyarakat. Pergumulan antar aktor dalam ruang dan waktu tersebut, menciptakan realitas yang kaya dengan ide-ide dan gagasan baru. Salahsatu di antara gagasan tersebut bisa saja menjadi gagasan utama yang terus diperdebatkan dan di praktekan sampai pada tingkat kesadaran yang mengikat interaksi dalam kehidupan masyarakat. Realitas sosial yang terbangun dari hasil interaksi tersebut adalah realitas yang mampu mendorong kesadaran bersama (collective consciousness) untuk melakukan tindakan yang mengangkat dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Kesadaran yang dipahami oleh masyarakat di Kalimantan Tengah adalah : pertama, pembangunan sebagai perubahan yang direncanakan untuk kemakmuran masyarakat, ternyata belum menyentuh kehidupan masyarakat pada lapisan bawah. Konsep pertumbuhan ekonomi yang dianggap mampu meneteskan ke bawah (trickle down effects) untuk menciptakan kegiatan ekonomi di tingkat akar rumput, ternyata disikapi dengan bagi-bagi “nasi bungkus.” Sementara itu, “roti” hasil pembangunan, dinikmati oleh para pemodal dan kelompok-kelompok elite politik serta kelompok-kelompok kepentingan yang mampu memanfaatkan arena sebagai upaya memanfaatkan peluang untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan kelompok. Mereka menyebut pembangunan seperti “Speed Boat” yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi di pinggir sungai, mengabaikan ombaknya yang besar dapat mengganggu aktifitas dan dinamika kehidupan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Maknanya adalah bahwa pembangunan tersebut belum menyentuh kelompok masyarakat pada lapisan bawah. Kedua, hilangnya sember mata pencaharian mereka, akibat semakin besarnya kebutuhan lahan untuk investor, sehingga mereka merasa tersingkir oleh kebijakan negara, yang mengutamakan kepentingan para investor dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut. Perjuangan-perjuangan mereka dalam mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dengan menggunakan atribut-atribut budaya seperti “Hinting Pali”, terhentikan oleh pihak keamanan yang memahami bahwa legalitas perusahaan lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat. Terhadap kondisi seperti ini, mereka pun hanya mampu menyuarakan “tempon petak manana sare, tempon kajang bisa puat, tempon uyah batawah belai” (punya tanah, menanam di pinggiran, punya atap tapi kebocoran, punya garam, merasa tawar”). Inilah gambaran marjinalisasi yang mereka rasakan dan alami dari kehadiran investor, yang seharusnya sumberdaya alam yang tersedia dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; seperti yang diamanatkan oleh pasal 33 Undang-Undang dasar 1945.Ketiga, merefleksikan dinamika pembangunan yang memiliki kecenderungan menciptakan kesenjangan sosial, maka masyarakat harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya agar tidak tergerus oleh kekuatan-kekuatan dari luar diri mereka. Kebangkitan untuk bertahan hidup memerlukan tahapan penyesuaian (adaptation) agar memiliki daya tahan (resilience) dengan mendorong partisipasi masyarakat agar mampu bangkit mentransformasikan pola-pola lokal yang bersifat humanism dalam melawan kekuatan global yang kurang peka terhadap masyarakat akar rumput (disenchantment of the world). Akhirnya, kemampuan para aktor untuk menggulirkan isu-isu strategis yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, harus memiliki daya dorong menciptakan kesadaran bersama untuk mengatasi, memperbaiki bahkan meningkatkan pelayanan kepada publik, baik yang bersumber dari nilai-nilai budaya lokal, maupun nilai-nilai dari luar yang diintegrasikan sebagai bagian dari proses transformasi sosial. Kehadiran negara untuk membangun dan melindungi maasyarakat, khususnya masyarakat yang terpinggirkan (marginalized) harus menjadi kesadaran yang di internalisasi dan lembagakan kepada para pihak yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat disekitarnya. Negara hadir dalam setiap keadaan ketika masyarakat sangat membutuhkan kehadiran negara; bukan sebaliknya, negara hadir ketika ada kepentingannya dengan masyarakat.