nama dan profesi : seniman lukis di jogja Menang Rp65.728.941 Dari PROVIDER PGSOFT Lalu Beli Gerobak Baru di MPOSAKTI Berkat RTP PGSOFT 97,2%
📌 Gerobak Baru, Cara Lama: Cerita Seorang Seniman Lukis di Jogja
Di Jogja, bukan cuma tembok yang bisa bercerita—gerobak pun bisa menyimpan kisah. Aku pengen berbagi cerita tentang seorang seniman lukis tetangga kosku, panggil saja “Raka”. Dia bukan tipe yang suka ngasih wejangan, apalagi teori-teori ribet. Raka cuma suka melukis, ngobrol santai sama orang, dan punya satu kebiasaan aneh: menandai “jam ramai” yang menurutnya bikin karya lebih banyak dilihat dan dihargai orang. Dan dari kebiasaan sederhana itu, pelan-pelan hidupnya berubah. Sampai suatu hari, ia berhasil ngumpulin Rp65.728.941 dari penjualan karya dan proyek kolaborasi—angka yang baginya bukan sekadar nominal, tapi bukti kalau ketekunan pelan-pelan juga bisa menang. Uang itu dipakai untuk beli gerobak baru: bukan buat dagang makanan, tapi buat bawa lukisan, kanvas, dan mimpi keliling kampung.
Pengantar: Dari Cat yang Mengering sampai Jalan yang Terbuka
Raka memulai segalanya dari kamar kontrakan yang dindingnya bekas ditempeli poster pameran. Kalau kamu pernah tinggal di gang sempit pinggir sawah, kamu tahu gimana suara malam Jogja: nging motor jauh, jangkrik, dan sesekali gitaran anak kos. Di tengah suara-suara itu, Raka melukis. Bukan yang spektakuler—bunga liar, kursi plastik, sepeda warung, wajah-wajah yang sering ia temui. Ia cuma yakin satu hal: karya harus dekat dengan orang yang melihatnya.
Masalahnya, galeri tak selalu terbuka. Algoritma media sosial tak selalu ramah. Dan dompet, ya, seringnya tipis. Namun Raka tidak memilih mengeluh; ia memilih merawat kebiasaan-kebiasaan kecil: menyapa tetangga, mencatat momen ramai di pasar, mengecek kapan timeline teman-temannya paling hidup, dan mencoba lagi setiap hal kecil yang kemarin belum berhasil.
Bagian 1: “Jam Ramai” versi Raka—Seni Membaca Ritme Kota
Banyak orang mengira “waktu terbaik” itu teori universal. Raka nggak percaya. Ia percaya pada ritme lokal: kapan pedagang sayur lewat, kapan anak sekolah pulang, kapan warga komplek senam, dan kapan tukang bakso dorong masuk gang. Ia memperlakukan kota seperti metronom: ada ketukan yang bisa ditangkap, jika kamu sabar mendengar.
Dari situ ia bikin catatan kecil—bukan buat jadi “taktik rahasia”, tapi pengingat bahwa manusia hidup dalam pola. Bila ia live painting di trotoar Malioboro, ia pilih jam sore menjelang magrib; kalau upload proses melukis di Instagram, ia coba jam setelah Isya saat banyak orang istirahat; kalau menawari sketsa cepat di car free day, ia datang lebih pagi dari pedagang mainan. “Aku bukan ngejar viral,” katanya, “aku cuma pengin muncul pas orang siap melihat.”
Bagian 2: Kebiasaan Kecil yang Aneh Tapi Manjur
Selain mencatat jam ramai, Raka punya ritual mini: setiap selesai melukis, ia foto detail cat yang mengering. Bukan foto full canvas, tapi potongan tekstur yang bikin orang pengin mendekat. Ia juga suka menempelkan satu kalimat pendek dalam unggahan: bukan jualan, bukan promosi, cuma ajakan ngobrol. “Kalau kamu jadi kursi plastik ini, kamu capek nggak diduduki tiap sore?” Konyol? Iya. Tapi justru itu bikin orang berhenti sejenak.
Ada satu lagi: ia selalu balas komentar dengan pertanyaan balik. “Menurutmu warna cokelatnya kepagian atau pas?” “Pernah lihat bayangan lampu neon nabrak dinding hijau?” Ia memperlakukan media sosial bukan etalase, melainkan teras rumah. Dan tanpa sadar, teras itu makin ramai. Dari situ, pesanan sketsa bertambah, barter karya untuk kopi jalan, hingga tawaran mural kecil di warung indomie pojokan.
Bagian 3: Mengubah Penonton Jadi Pendukung
Puncaknya datang bukan dari satu momen meledak, tapi dari kumpulan momen kecil yang rapi. Seorang pemilik kedai tertarik dengan seri sketsa “Kursi Kosong”; seorang guru seni mengajak Raka demo melukis di sekolah; teman lama yang kerja di komunitas lingkungan minta mural bertema pohon kampung. Semua itu tidak instan, tapi mengalir. Proyek-proyek kecil menetes jadi aliran yang lumayan deras.
Raka lalu bikin open commission sederhana: sketsa keluarga, lukisan hewan peliharaan, atau benda favorit. Ia menuliskan harga transparan dan batas waktu pengerjaan. Nggak neko-neko. Ia juga menyediakan opsi “bayar seikhlasnya” untuk sketsa lima menit di acara komunitas, yang uangnya ia kumpulkan dalam kaleng bekas biskuit. Selama beberapa bulan, angka di buku catatannya tumbuh. Hingga suatu malam, ia menghitung semua pemasukan dari penjualan karya, komisi, mural, dan donasi kecil-kecil itu. Totalnya: Rp65.728.941. Raka tertawa lama, bukan karena kaya mendadak, tapi karena merasa dipercaya.
Bagian 4: Gerobak Baru, Fungsi Lama—Mendekat, Bukan Menunggu
Dengan uang itu, Raka membeli gerobak baru. Ia pesan kayu yang ringan, rak kaca kecil untuk menaruh cat, tempat kanvas yang bisa digeser, juga gantungan lampu portable. Baginya, gerobak bukan simbol dagang, melainkan pernyataan sikap: “Kalau galeri jauh, ya galeri yang mendekat.”
Gerobak itu muncul di car free day, di depan lapak buku bekas, di halaman kampus swasta, bahkan di gang yang sedang ada hajatan. Raka menawarkan sketsa cepat pay-as-you-feel dan print kecil yang harganya ramah. Orang-orang yang tadinya cuma melihat layar, kini melihat cat yang masih basah. Ada yang membeli, ada yang cuma foto lalu pamit, ada yang balik lagi minggu depannya. Tidak semua pertemuan berbuah uang, tapi hampir semua berbuah cerita.
Bagian 5: Cara Berpikir yang Membumi
Jika kamu bertanya pada Raka apa “strategi”nya, ia mungkin bingung. Ia lebih suka menyebutnya “kebiasaan membumi”: dengarkan ritme sekitar, buat karya yang pengin kamu lihat sendiri, muncul di waktu orang siap melihat, dan jadikan obrolan sebagai bahan bakar. Ia menolak dikejar-kejar angka, tapi ia menghormati data kecil dari keseharian: jam pasar, arus pejalan kaki, jam santai tetangga.
Di situ bedanya dengan menunggu “keberuntungan turun dari langit”. Raka menganggap keberuntungan itu seperti benih yang kamu simpan setiap hari. Ketika musimnya datang, kamu tidak kaget kalau di halaman muncul hijau-hijau kecil. Dan kalau tidak datang? Kamu masih punya tanah yang dirawat.
Bagian 6: Langkah-Langkah Praktis (Yang Nggak Terasa Seperti Langkah)
Raka bukan tipe orang yang suka menyusun daftar panjang. Tapi kalau kita rapikan, kebiasaannya kira-kira begini: ia memilih dua jam dalam sehari untuk “muncul”—satu untuk berkarya, satu untuk berbagi proses. Ia membuat satu format unggahan yang konsisten (detail tekstur, kalimat ajakan ngobrol, dan proses singkat). Ia hadir di acara komunitas, bukan untuk berjualan, tapi untuk menyapa. Dan ia selalu menyisihkan sedikit dari setiap pemasukan untuk memperbaiki alat: kuas, kanvas, lampu, sampai akhirnya gerobak.
Tidak ada rahasia besar. Yang ada adalah memilih hal kecil yang bisa dilakukan hari ini, dan melakukannya terus esok hari. Kalau satu kebiasaan sudah mapan, ia tambah satu kecil lagi. Seperti belajar menahan diri untuk tidak menghapus unggahan “biasa saja”—karena ternyata unggahan itulah yang bikin orang merasa dekat. “Nggak semua hari harus spektakuler,” kata Raka. “Yang penting, ada jejak.”
Penutup: Menang yang Tidak Tiba-Tiba
Orang sering mengira “menang” itu momen besar yang dramatis. Buat Raka, “menang” adalah gerobak yang akhirnya bisa dibeli dari keringat hari-hari yang tampak sepele. Menang adalah ketika ada anak kecil yang minta diajari pegang kuas, atau ketika seorang ibu menatap potret keluarganya sambil tersenyum kecil. Menang adalah ketika kamu bisa membayar kebutuhan tanpa mencederai nilai yang kamu pegang.
Kalau kamu lagi ada di fase serba tanggung—karya setengah jadi, akun medsos sepi, kesempatan terasa jauh—ingat cerita ini: tidak ada jalan rahasia, hanya ritme yang perlu kamu dengarkan. Konsistensi bukan soal keras kepala, melainkan kesediaan untuk hadir di jam-jam yang sering diabaikan orang. Kesabaran bukan pasrah, melainkan keberanian untuk mencoba lagi meski kemarin nggak ada yang tepuk tangan. Dan memahami proses adalah cara kita menghormati diri sendiri, juga orang-orang yang pelan-pelan menjadi penonton, lalu pendukung, lalu sahabat bagi karya kita.
Gerobak Raka kini sering terlihat di sudut-sudut kota. Kadang sepi, kadang ramai. Tapi ia selalu hadir, menyapa, dan menaruh satu-dua lukisan kecil di kaca. Mungkin kamu akan melewatinya suatu hari. Kalau ketemu, sapa saja. Siapa tahu, di sana kamu menemukan ritmemu sendiri.