MENGUBAH PERFORMANCE BIROKRASI DAERAH Dengan Uji Kompetensi
DOI:
https://doi.org/10.37304/jispar.v1i1.340Abstract
Performance birokrasi pemerintah yang baik di semua tingkat pemerintahan dewasa ini menjadi suatu keharusan yang dilaksanakan. Sangat disadari persoalan kualitas kinerja pelayanan pemerintah pada public masih relative sangat rendah demikian pula sensitivitas serta responsibilitas penyelenggaraan tugas. Disana sini masih banyak terdapat keluhan public atas kelambanan pelayanan administrasi, ketidak adilan keputusan atau kebijakan atau orogansi berlebihan dari para penyelenggara negara kepada masyarakat yang seyogianya harus dilayani sehingga birokrasi bukan lagi menjadi alat bantu untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi pelayanan bagi publik namun menjadi mesin momok yang menakutkan dan menjengkelkan.
Upaya memperbaiki kinerja birokrasi yang lebih humanis, responsible dan akuntable terus menerus dilakukan. Pergeseran paradigma memerintah dari konsep “government” ke “governance” telah dijalankan demikian pula pola kekuasaan sentralistis menjadi desentralistis turus dilakukan seraya memperkuat peran pemerintah daerah melalui otonomi daerah yang luas dan menumbuhkembangkan proses demokratisasi lokal yang salah satu perwujudannya dengan pemilu langsung kepala daerah kabupaten/kota dan provinsi.
Pelayanan umum akan dapat terlaksana dengan baik dan memuaskan apabila didukung oleh beberapa faktor antara lain, kesadaran para pejabat pimpinan dan pelaksana, adanya aturan yang memadai, organisasi dengan mekanisme sistem yang dinamis, pendapatan pegawai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kemampuan dan ketrampilan sesuai dengan tugas/pekerjaan yang dipertanggungjawabkandan tersedianya sarana pelayanan sesuai dengan jenis dan bentuk tugas/pekerjaan pelayanan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa tugas pokok dan fungsi pemerintah yaitu melayani (service) terhadap publik atau warga negaranya, untuk tercapainya tugas dan fungsi tersebut didukung oleh beberapa faktor seperti kehandalan pegawainya mulai dari pimpinan sampai bawahan, aturan yang ditetapkan, prosedur dan sebagainya.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “seorang pemimpin tanpa pengikut, tidak akan berarti apa-apa” karena itu pemimpin sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dari para pengikutnya untuk dapat menterjemahkan, menjalankan, dan mengimplementasikan segala ide-ide maupun keinginan-keinginan yang ingin ia wujudkan. Demikian halnya dengan para kepala daerah di Kalimantan Tengah saat ini, dalam upaya mewujudkan visi dan misinya sangat membutuhkan para pengikut dalam hal ini adalah para birokrat/Pegawai Negeri yang mampu mengerti, memahami dan berusaha secara bersama-sama untuk mewujudkan keinginan mereka sebagaimana visi yang telah ditetapkan.
Guna mewujudkan keinginan tersebut,setiap kepala daerah/wakil kepala daerah tentunya dituntut untuk mampu membentuk Tim Kerja yang handal. Tim Kerja yang handal (perangkat pemerintah daerah) sangat diperlukan agar mampu menterjemahkan dan mewujudkan visi dan misi pimpinan ini berikut yang terpenting adalah keinginan dan harapan masyarakat (public) sehingga masyarakat benar-benar merasakan arti kehadiran pemerintah yang berfungsi melindungi, mengayomi dan mensejahterakan secara adil dan demokratis.
Penyusunan Tim Kerja yang handal bukanlah suatu pekerjaan yang mudah ditengah-tengah kondisi birokrasi kita yang sangat kurang sehat (buruk). Diperlukan adanya kemampuan dari kedua pimpinan ini untuk dapat mengevaluasi dan menganalisis individu aparatur birokrasi sehingga ditetapkan seorang aparatur birokrasi yang baik dan handal dengan mengedepankan aspek-aspek profesionalitas, proporsionalitas serta aspek ahlak dan moral untuk segenap aparatur birokrasi yang direkrut ke dalam struktur pemerintahan.
Tim Kerja yang handal sangat dibutuhkan, terlebih pada era Otonomi Luas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Menurut beberapa pakar ada enam perubahan besar yang terjadi terhadap pilar-pilar atau soko guru pemerintahan daerah dengan adanya otonomi luas sebagaimana UU 32 Tahun 2004 ini, yaitu : 1) Perubahan isi otonomi yang akan merubah cakupan kewenangan pemda; 2) Melembagakan kewenangan-kewenangan tersebut dalam bentuk lembaga/organisasi pemda; 3) Penataan personil yaitu pegawai yang akan menjalankan lembaga tersebut; 4) Perubahan pengelolaan keuangan; 5) Perubahan dalam aspek perwakilan rakyat dan demokratisasi dalam pilkada; serta 6) Perubahan dalam pengelolaan otonomi daerah.
Upaya penyesuaian terhadap perubahan 6 (enam) pilar tersebut telah dilaksanakan, namun refleksi keberhasilan masih perlu dipertanyakan. Realitas penyelenggaraan pemerintahan daerah kita masih belum mampu menuju pada organisasi Pemda yang modern dan professional.
Dibidang penataan kelembagaan dan penataan personil misalnya, wajah birokrasi Pemda kita masih tetap bersifat bureaucratic polity (Karl Jackson) atau bureaucratic authoritarian (Dwight King) kendatipun rezim dan masa penguasa pemerintahan otoriter ORBA telah berkahir. Bureaucratic polity birokrasi ditunjukan dengan peran partai politik dan elite partai yang sangat besar dalam percaturan politik dan dalam tata penyelenggaraan pemerintahan sehingga birokrasi yang diharapkan menjadi netral sebagaimana cita-cita perjuangan reformasi total tahun 1998, ternyata tetap menjadi bagian alat kekuasaan politik.
Bukan rahasia umum saat ini baik ditingkat pusat maupun di daerah bahwa jabatan karier seorang aparatur birokrasi/PNS sangat ditentukan oleh hubungan kedekatannya (DUK) yang tidak hanya dituntukan oleh kedekatan dengan pemimpin daerahnya tetapi juga dengan petinggi-petinggi partai/elite partai. Posisi Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal pada departemen atau sekda atau kepala-kepala dinas (pemegang jabatan esellon II), para kepala bidang/bagian (essellon III) provinsi, kabupaten/kota dan bahkan para pelamar CPNS ternyata lebih “ditentukan oleh proses-proses politik informal” ketimbang proses dan mekanisme formal birokrasi atau Baperjakat atau Tim Penerimaan CPNS.
Birokrasi menjadi ajang konspirasi ……. yang dilakukan oleh elite politik, elite pemerintah (daerah/pusat), pengusaha, NGos dan kelompok-kelompok kepentingan lain untuk dan atas nama negara mengelola Negara dan keuangannya demi tujuan segilintir orang atau demi untuk membangun kerajaan atau dinasti baru segelintir orang di daerah dan menjadikannya sebagai raja-raja kecil daerah atau demi untuk mewujudkan doktrin dan cita-cita perjuangan partainya yang telah jauh dari cita-cita philosofis sejati partai politik.
Birokrasi juga menjadi arena bagi-bagi kue pembangunan atau arena politik balas jasa kepada para clean-clean yang telah ambil bagian membantu perjuangan memperoleh kekuasaan. Akibat dari itu proses rekruitmen dan penempatan personil-personil tim kerja dalam struktur Pemerintahan Daerah menjadi i-rasional dan tidak mengedepankan integritas dan moralitas. Tapi cenderung mengedepankan dan mempertahankan pola-pola lamayakni karena kedekatan dan karena senioritas. Sehingga dihasilkan manusia pemimpin daerah yang corrupt, angkuh/sombong, arrogan, ingin dihormati, ingin dilayani dan bukan melayani, ingin diberi upeti bukan memberi layanan yang ramah, sopan dan bersahaja dan menjadikan birokrasi sebagai mesin penghambat bukan sebagai mesin yang dapat menciptakan suatu tatanan administrasi pemerintah yang efisien dan efektif.
Konfigurasi system tersebut, telah menempatkan pula sistem promosi jabatan struktural dan sistem mutasi cendrung tidak didasarkan atas keahlian, namun lebih atas dasar kepercayaan.Sehingga acap kali ditemukan seseorang menduduki suatu jabatan tertentu berbeda dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya. Hal ini berbanding terbalik dengan keinginan Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 133 yakni : “Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi”). Hal ini senada dengan perkataan Drucker yang mengatakan “We are change the world, faster than we can change ourself”.Dan parahnya lagi kondisi ini sepertinya dimaklumi oleh para pimpinan organisasi Pemda. Sehingga tidak aneh kalau dikalangan birokrasi, pegawai yang memiliki kompetensi/kemampuan pemikiran yang baik tidak secara otomatis akan menduduki posisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual/kompetensi yang dimilikinya. Jadi tidaklah mengherankan kalau pegawai saat ini lebih tertarik untuk memperdalam “ilmu kodok”-nya (sepak kanan, sepak kiri, injak bawah-jilat atas untuk mendapatkan kepercayaan) ketimbang meningkatkan kemampuan teknis pemerintahannya.
Promosi jabatan yang didasarkan pada kedekatan dengan pimpinan tingkat atas, disebabkankarena adanya pemikiran dari para pegawai (termasuk sang pimpinan) bahwa jabatan struktural adalah kepercayaan(loyalitas pribadi dengan pimpinan/partai). Senioritas dalam pengertian kepangkatan, dilakukan karena menggunakan pendekatan eselonering untuk jabatan struktural (eselonisasi telah melahirkan birokrasi yang sibuk mengejar senioritas pangkat dan eselon yang sering tidak berhubungan dengan peningkatan kinerja). Bukan karena kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh yang bersangkutan sesuai dengan jabatan struktural yang ada, tetapi karena jenjang kepangkatan yang bersangkutan (padahal point ini bukanlah faktor utama sebagaimana dalam pasal 133 UU No. 32 Tahun 2004 di atas).
Diera otonomi daerah saat ini, setiap organisasi pemerintah daerah menghadapi tantangan yang sangat kompleks dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Untuk itu organisasi membutuhkan model organisasi yang ramping yang didukung oleh personil yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan tugas pokok dan fungsi organisasinya. Stewardmenyatakan :“Yang dibutuhkan organisasi Pemda saat ini adalah orang yang bekerja keras dengan otaknya (brain power), bukan orang yang kuat sehingga hanya dapat bekerja dengan ototnya (muscle power)”.
Dengan adanya tantangan seperti ini, dibutuhkan adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia sesuai dengan keahlian dan kebutuhan organisasi, sehingga setiap personil dalam mengejar prestasi lebih mengarah kepada bagaimana memberikan kontribusi yang optimal kepada organisasinya, bukan sekedar bagaimana mendapatkan jabatan struktural atau membuat asal bapak senang (ABS) atau hanya menjadi “pejabat menara gading”, tanpa ada kontribusi keahlian yang jelas.
Agar kegiatan rasionalisasi (perubahan dimensi struktural dan fungsional) tidak menjadi sia-sia belaka sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Pemda sendiri melalui implementasi Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007, maka pemerintah daerah memerlukan adanya perubahan orientasi perilaku personil (dimensi kultural).
Salah satu upaya melakukan perubahan orientasi perilaku adalah melakukan Uji Kompetensi bagi pegawai yang akan menduduki jabatan dalam Organisasi Pemerintah Daerah. Kegiatan ini bukanlah sesuatu hal yang baru, untuk beberapa daerah tertentu seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta atau lainnya kegiatan uji kompetensi ini menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan oleh para kepala daerah untuk mendapatkan para pembantunya yang akan menduduki jabatan-jabatan strategis ditingkat pemerintahan daerah dengan cara-cara terhormat, terukur dan elegan serta demokratis.
Lain halnya di daerah kita, uji kompetensi ini pada realitasnya masih jarang dilakukan dan kalau pun ada cendrung bersifat tertutup sehingga public menjadi kehilangan akses untuk mengetahui kemampuan dan kompetensi dari seorang calon yang akan menduduki jabatan public di lingkungan pemerintah daerah.
Pada dasarnya uji kompetensi jabatan ini dapat memberikan masukan secara lebil benar dan adil bagi pimpinan sendiri atas kompotensi dari seorang bawahannya sehingga mereka mampu memilih dan menetapkan para pembantunya secara baik dan benar. Uji kompetensi jugabermanfaat untuk mengarahkan pimpinan/instansi teknis yang menangani kepegawaian (BKD) untuk mengembangkan berbagai jenis jabatan fungsional. Seperti personil yang mempunyai kemampuan untuk perencanaan ditempatkan di Bappeda dengan jabatan fungsional perencanaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyusun perencanaan pembangunan daerah yang tidak terkooptasi dengan jabatan struktural.
Uji kompetensi adalah merupakan suatu standar penilaian/kompetensi bagi para pegawai yang akan dipromosikan untuk duduk dalam suatu jabatan tertentu (Jabatan Fungsional maupun Struktural). Bukan berarti dengan diciptakannya standar penilaian tersebut maka Tim Baperjakat yang ada di Pemerintah Daerah Propinsi, Kota/Kabupaten akan tidak berfungsi lagi. Tetapi dengan adanya standar penilaian ini akan dapat membantu Tim Baperjakat untuk mempromosikan pegawai-pegawai yang akan menduduki suatu jabatan. Sehingga peranan Baperjakat akan dapat berjalan dengan optimal dalam memberikan atau menempatkan pegawai pada posisi yang tepat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki (The right man in the right place). Diharapkan pula dengan adanya uji kompetensi tersebut para pegawai terpacu untuk dapat meningkatkan kemampuannya (keterampilan, pengatahuan,dll) agar dapat memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Upaya penetapan standar-standar untuk mengadakan uji kompetensi jabatan tentunya harus memperhatikan pula aspek kecerdasan dan kematangan diri, kualifikasi pendidikan, track record, visi dan misi terhadap jabatan yang diembannya maupun aspek psikologis PNS atau moral.
Menuju terbangunannya dimensi kultur personil perlu adanya suatu upaya pembaharuan (dari pimpinan/Top Manager) yang sesuai dengan perkembangan lingkungan dimana organisasi tersebut tumbuh dan berkembang. Hal di atas sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan Albert Einstein yang mengatakan : “The significant problems we face can not be solved at the same level of thinking we were at when we create them.” (Masalah-masalah mendasar yang kita hadapi saat ini tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan level berpikir sebelumnya yang justru menciptakan masalah-masalah tersebut).
Secara teoritis upaya melakukan pembaharuan/menciptakan pergeseran paradigma dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :Pertama, dilakukan secara sadar, sukarela, dan proaktif-antisipatif (inside out). Mengikuti pembelajaran atau pendidikan, memperluas wawasan, belajar dari pengalaman masa lalu, membaca, bergaul dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, berusaha mengenali misi dan visi hidup pribadi dan organisasi, dan melakukan kegiatan spiritual; Kedua, dilakukan dengan terpaksa atau reaktif (outside in), umumnya tanpa disertai dengan kesadaran, karena dipicu oleh berbagai peristiwa traumatis. Keterpaksaan ini dapat terjadi karena paradigma yang kita anut ternyata telah beku atau lumpuh, terperangkap pada realitas semu yang penuh tipu, kepalsuan dan kemunafikan.
Berdasarkan dua langkah yang dapat ditempuh dalam upaya menerima serta menghadapi perubahan dimensi kultural tersebut, Penciptaan Standar Kompetensi maupun Uji Kompetensi menjadi salah satu wujud dari upaya menghadapi tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan yang dilakukan secara sadar, dan proaktif-antisipatif (inside out). Dimana hal ini ditempuh untuk mengobati penyakit di dalam tubuh organisasi pemerintah agar dapat menerima serta beradaptasi dengan iklim lingkungannya yang baru. Di samping itu Uji Kompetensi merupakan sikap keterpaksaan yang harus diambil oleh pemerintah daerah untuk mengatasi permasalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berada pada level low trust (semoga tidak berlanjut pada level distrust) sehingga mau tidak mau pemerintah harus segera berbenah diri untuk dapat mengubah image pemerintahan yang buruk di mata masyarakat. Sangat disayangkan jika pesta demokrasi pemilihan kepala daerah yang telah dilakukan secara demokratis pada waktu yang lalu ternoda oleh ketidakmampuan (powerless) pemimpin daerah kita ini untuk membangun tatanan aparatur birokrasi yang kapabel sesuai dengan standar profesionalistas dan menghasilkan para penyelenggara pemerintah daerah (birokrasi) yang ramah, berjiwa melayani, berintegritas, loyalitas dan dedikasi kerja yang tinggi pada masyarakat (menjadi abdi masyarakat dan abdi negara).
Uji kompetensi merupakan salah satu syarat penting yang dapat dipertimbangkan bagi berfungsinya organisasi Pemda serta merupakan salah satu syarat sebelum PNS tersebut ditempatkan dalam jabatan dan sangat urgent dilakukan mengingat makin terbatasnya jumlah jabatan struktural yang tersedia sekaligus untuk mengakomodasi penilaian publik yang menilai birokrasi Pemerintah Daerah adalah malas, tidak memiliki potensi, tidak disiplin dan kinerjanya rendah.
Pertanyaan berikutnya yang diperhadapkan pada kita adalah bagaimana kita menciptakan standar-standar tersebut ? Bukankah dilingkup organisasi pemerintahan sudah ada DP-3 dan Analisis Jabatan (yang mulai jarang diterapkan/direncanakan semoga tidak dilupakan) yang bermanfaat untuk menilai serta melihat prestasi kerja seorang pegawai. Apakah itu tidak cukup ? Sebagaimana diketahui, kompetensi adalah merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Dimana untuk mengukur kompetensi yang dimiliki seorang pegawai tersebut kita dapat menetapkan standar-standar kompetensi yang diperlukan dalam rangka peningkatan profesionalisme PNS yang akan menduduki jabatan struktural eselon I, II, III, IV dan V. Standar-standar yang akan diciptakan itu kemudian dibagi kedalam dua indikator, yaitu indikator umum (Kompetensi umum) dan indikator khusus (Kompetensi khusus). Standar ini tentunya sangat berbeda dengan DP-3 yang selama ini dikenal dikalangan PNS, dimana indikator-indikator dalam DP-3 tersebut berlaku secara menyeluruh bagi semua PNS (nilainya pun selalu meningkat, nda pernah turun........???). Kompetensi umum yang dikembangkan dalam Uji kompetensi ini berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan dan perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Sedangkan Kompetensi khusus berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa keahlian yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Dalam proses ini peran daripada analisis jabatan yang saat ini kurang berfungsi dapat lebih digiatkan lagi oleh masing-masing pembina kepegawaian di instansi masing-masing yang berguna untuk menentukan indikator-indikator khusus yang tentunya sesuai dengan keadaan, kenyataan dan kebutuhan kerja yang riil. Dengan terciptanya standar-standar yang berisi indikator-indikator penilaian tersebut dapat dijadikan sebagai standar baku bagi Tim Baperjakat/Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dari dan dalam jabatan, serta sebagai dasar penyusunan/pengembangan program pendidikan dan pelatihan PNS. Sebagai contoh beberapa Standar kompetensi Umum dan khusus dalam Jabatan Eselon III. Seseorang yang akan/dapat menduduki jabatan eselon III paling tidak memenuhi standar kompetensi umum seperti : Mampu memahami dan mewujudkan Kepemerintahan yang baik (Good Governance), Mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan publik, Mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, Mampu melakukan pendelagian kewenangan terhadap bawahannya, Mampu melakukan akuntabilitas kinerja unit organisasinya dengan baik, Mampu melakukan evaluasi dan bahkan Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan program kepada pejabat atasannya, dan hal terkait lainnya.Standar Kompetensi Umum ini pada dasarnya dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun diklat kepemimpinan. Kemudian Standar Kompetensi khusus, berisi tentang keahlian yang disesuaikan dengan jabatan yang bersangkutan. Misalnya Kepala BKD di tingkat Kota/Kabupaten, Standar Kompetensi khusus yang harus dimiliki antara lain : Mampu menyusun program kebutuhan dan penempatan pegawai, Mampu menyusun program analisis jabatan untuk perencanaan pegawai, Mampu menyusun sistem informasi kepegawaian, Mampu memberikan pertimbangan pemberhentian dan pemensiunan pegawai, dan lainnya. Perlu diingat pula bahwa standar kompetensi khusus ini pada dasarnya dapat ditetapkan oleh Pembina kepegawaian di Instansi masing-masing sesuai dengan uraian tugas/jabatan di unit organisasinya masing-masing.
Upaya pergeseran paradigma dari konsep kecakapan menjadi kompetensi (melalui uji kompetensi), diharapkan secara perlahan namun pasti tentunya akan menimbulkan implikasi strategis yang sangat positif bagi kegiatan perencanaan dan pengelolaan sumber daya aparatur pemerintah dilingkup apapun dalam setiap kegiatan. Sehingga dengan demikian kompetensi nantinya merupakan faktor mendasar dalam hal penempatan seseorang dalam jabatan tertentu. Namun demikian, cukup disadari bahwa untuk merealisasikan keinginan ini diperlukan suatu pengorbanan, kerja keras serta komitmen yang kuat dari semua pihak. Karena semakin besar cakupan kepentingannya, semakin besar dimensi kemanusiaan yang dikandungnya, maka semakin besar pula tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi dalam proses merealisasikan keinginan tersebut.
Kita menaruh harapan besar pada pimpinan daerah yang memerintah untuk ke-2 kalinya ini untuk lebih melakukan berbagai perubahan bagi peningkatan dan kesejahteraan masyarakat, demikian pula segenap aparatur penyelenggara di bawahnya.
Downloads
Downloads
Published
Versions
- 2022-09-28 (3)
- 2021-01-16 (2)
- 2019-11-10 (1)