JOURNAL TEMPLATE
Vol. 1 No. 1 (2018): Journal SOSIOLOGI Volume 01, Edisi 01, Maret 2018
Sebuah kebudayaan dapat dipahami dari dinamika aktor-aktor sebagai pembentuk kebudayaan, ketika mereka merefleksikan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam menghadapi dinamika pembangunan yang sarat dengan kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Dinamika kebudayaan tersebut merupakan dinamika aktor dalam ruang dan waktu untuk merefleksikan perbedaan (disticntion) yang dimiliki para aktor dari pengetahuan dan pengalaman yang membentuk kapasitas mereka untuk mempengaruhi dan menciptakan isu-isu aktual yang sedang dihadapi masyarakat. Pergumulan antar aktor dalam ruang dan waktu tersebut, menciptakan realitas yang kaya dengan ide-ide dan gagasan baru. Salahsatu di antara gagasan tersebut bisa saja menjadi gagasan utama yang terus diperdebatkan dan di praktekan sampai pada tingkat kesadaran yang mengikat interaksi dalam kehidupan masyarakat. Realitas sosial yang terbangun dari hasil interaksi tersebut adalah realitas yang mampu mendorong kesadaran bersama (collective consciousness) untuk melakukan tindakan yang mengangkat dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Kesadaran yang dipahami oleh masyarakat di Kalimantan Tengah adalah : pertama, pembangunan sebagai perubahan yang direncanakan untuk kemakmuran masyarakat, ternyata belum menyentuh kehidupan masyarakat pada lapisan bawah. Konsep pertumbuhan ekonomi yang dianggap mampu meneteskan ke bawah (trickle down effects) untuk menciptakan kegiatan ekonomi di tingkat akar rumput, ternyata disikapi dengan bagi-bagi “nasi bungkus.” Sementara itu, “roti” hasil pembangunan, dinikmati oleh para pemodal dan kelompok-kelompok elite politik serta kelompok-kelompok kepentingan yang mampu memanfaatkan arena sebagai upaya memanfaatkan peluang untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan kelompok. Mereka menyebut pembangunan seperti “Speed Boat” yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi di pinggir sungai, mengabaikan ombaknya yang besar dapat mengganggu aktifitas dan dinamika kehidupan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Maknanya adalah bahwa pembangunan tersebut belum menyentuh kelompok masyarakat pada lapisan bawah. Kedua, hilangnya sember mata pencaharian mereka, akibat semakin besarnya kebutuhan lahan untuk investor, sehingga mereka merasa tersingkir oleh kebijakan negara, yang mengutamakan kepentingan para investor dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut. Perjuangan-perjuangan mereka dalam mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dengan menggunakan atribut-atribut budaya seperti “Hinting Pali”, terhentikan oleh pihak keamanan yang memahami bahwa legalitas perusahaan lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat. Terhadap kondisi seperti ini, mereka pun hanya mampu menyuarakan “tempon petak manana sare, tempon kajang bisa puat, tempon uyah batawah belai” (punya tanah, menanam di pinggiran, punya atap tapi kebocoran, punya garam, merasa tawar”). Inilah gambaran marjinalisasi yang mereka rasakan dan alami dari kehadiran investor, yang seharusnya sumberdaya alam yang tersedia dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; seperti yang diamanatkan oleh pasal 33 Undang-Undang dasar 1945.Ketiga, merefleksikan dinamika pembangunan yang memiliki kecenderungan menciptakan kesenjangan sosial, maka masyarakat harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya agar tidak tergerus oleh kekuatan-kekuatan dari luar diri mereka. Kebangkitan untuk bertahan hidup memerlukan tahapan penyesuaian (adaptation) agar memiliki daya tahan (resilience) dengan mendorong partisipasi masyarakat agar mampu bangkit mentransformasikan pola-pola lokal yang bersifat humanism dalam melawan kekuatan global yang kurang peka terhadap masyarakat akar rumput (disenchantment of the world). Akhirnya, kemampuan para aktor untuk menggulirkan isu-isu strategis yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, harus memiliki daya dorong menciptakan kesadaran bersama untuk mengatasi, memperbaiki bahkan meningkatkan pelayanan kepada publik, baik yang bersumber dari nilai-nilai budaya lokal, maupun nilai-nilai dari luar yang diintegrasikan sebagai bagian dari proses transformasi sosial. Kehadiran negara untuk membangun dan melindungi maasyarakat, khususnya masyarakat yang terpinggirkan (marginalized) harus menjadi kesadaran yang di internalisasi dan lembagakan kepada para pihak yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat disekitarnya. Negara hadir dalam setiap keadaan ketika masyarakat sangat membutuhkan kehadiran negara; bukan sebaliknya, negara hadir ketika ada kepentingannya dengan masyarakat.